Bebaskan Penyihir Itu

Hubungan



Hubungan

0"Apakah ini tempat yang sama di mana kamu datang terakhir kali?" Tilly bertanya kepada Ashes sambil menatap ke arah tebing yang tinggi.     
0

Kapal Si Cantik terus berlayar di sepanjang pantai ke arah barat sejak mereka melihat pesisir pantai. Ashes tidak menyuruh kapalnya segera berhenti sampai mereka melihat dermaganya.     

"Nah. Lihatlah ke sana." kata Ashes sambil menunjuk ke puncak gunung.     

Mengikuti arah yang ditunjuk oleh Ashes, Tilly melihat ada dua bendera berwarna oranye yang berkibar ditiup angin.     

"Tempat itu hanya sebuah pantai saat terakhir kali aku datang, tetapi kedua bendera itu menunjukkan bahwa kita sedang menuju ke arah yang benar."     

"Aku ingat tempat itu juga," kata Jack sambil menghisap pipa tembakau di mulutnya, "Tetapi terakhir kali para penyihir Kota Perbatasan menggunakan sebuah balon raksasa untuk mengangkut para penyihir Pulau Tidur melewati tebing tinggi. Bagaimana kalian akan ke sana kali ini?"     

"Sebuah balon raksasa?" Tilly bertanya dengan penasaran.     

"Benar. Benda itu adalah sebuah balon yang bisa terbang asalkan kita mengisi balonnya dengan gas panas." kata Ashes sambil mengangguk. "Aku dengar balon itu adalah hasil penemuan Pangeran Roland. Gas panas di dalam balon naik ke udara dan mengangkat balon dan orang-orang yang berada di dalam keranjang naik ke langit."     

Tilly tampak kebingungan saat mendengar penjelasan Ashes. "Guru kami tidak pernah mengajarkan kami hal-hal seperti ini." kata Tilly sambil melanjutkan, "Aku akan segera mengetahui semua jawabannya karena aku akan segera bertemu dengan Roland. Mari kita berlabuh di sini."     

"Apa kamu yakin kamu tidak mau tinggal di kapal dan menunggu Roland menjemputmu?" tanya Jack sambil membersihkan abu rokoknya, "Bagaimana caranya kita bisa melewati tebing tinggi itu?"     

"Shavi akan mengurus masalah itu." jawab Tilly sambil tersenyum.     

Karena mereka tidak mengetahui dengan jelas seberapa dalam kedalaman laut di sini, mereka melabuhkan kapal mereka pada jarak yang dirasa sudah tepat dan melepaskan jangkar kapal untuk menurunkan orang-orang ke pantai dangkal.     

Setelah mereka melangkah di atas salju yang tebal, Tilly menoleh kepada Jack. "Kapten, aku terpaksa merepotkanmu karena aku akan tinggal di kota ini selama tiga sampai empat hari. Aku ingin kamu mengirim Lotus dan para penyihir lainnya kembali ke Pulau Tidur."     

"Tentu saja," jawab Jack, "Tetapi aku tidak berani berlayar tanpa dirimu di kapal. Hanya dewa yang tahu kapan monster laut itu akan menyerang lagi."     

Tilly berjalan menuju kaki tebing dan terbang ke atas puncak tebing dengan bantuan Batu Ajaib. Tilly mengamati pemandangan di sekelilingnya. Pemandangan di belakang tebing hampir setinggi puncak tebing. Ini berarti mereka tidak harus langsung turun tebing begitu mereka mencapai puncaknya. Mengangkat barang-barang bawaan mereka dengan bantuan kekuatan penghalang milik Shavi akan memakan kekuatan sihir yang cukup besar, tetapi tebing ini, yang setinggi lima puluh langkah, sama sekali tidak terlalu tinggi bagi Shavi. Tilly mendarat perlahan di dekat keempat para penyihir. "Shavi, aku akan menyerahkan urusan ketiga orang lainnya kepadamu."     

"Baik, Lady Tilly." Shavi tertawa sambil menepuk dadanya. Kemudian Shavi mengeluarkan pelindung transparan miliknya. Setelah dua hari beristirahat, kekuatan sihir Shavi sudah pulih dari pertempuran melawan monster laut raksasa. Sambil menunggu mereka semua masuk ke dalam pelindung transparan, Shavi menggerakkan kekuatannya dan perlahan-lahan membawa mereka naik ke langit. Tidak lama kemudian, mereka sudah menyeberangi tebing tinggi itu.     

Sambil di pandu oleh Ashes, mereka hanya membutuhkan waktu setengah hari untuk sampai di Kota Perbatasan.     

Sebuah jembatan besi yang terlihat unik adalah hal yang pertama kali dilihat oleh Tilly. Jembatan besi itu ditopang oleh dua dermaga, dan jembatan ini digunakan untuk menyeberangi sungai yang lebar ini. Tidak ada hiasan tambahan apa pun pada jembatan besi itu, hanya ada balok dan pilar besi yang terlihat kokoh sempurna. Salju putih yang jatuh di badan jembatan yang berwarna hitam terlihat kontras dan memberikan kesan yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata bagi mereka yang baru pertama kali melihatnya.     

"Jembatan ini … besar sekali," kata Si Angin Sepoi dengan penuh kekaguman, "Berapa banyak batangan besi yang mereka butuhkan untuk membuat jembatan besi semegah ini?"     

"Sungguh suatu pemborosan. Sebenarnya jembatan apung sederhana sudah cukup untuk dijadikan transportasi. Mengapa mereka membangun jembatan setinggi itu?" Ashes berkomentar dengan nada tidak setuju. "Karena Kota Perbatasan adalah pemberhentian terakhir bagi kapal-kapal pedagang, aku rasa tidak ada kapal yang akan berlayar ke sungai hanya untuk berdagang."     

"Pemikiranmu dangkal," kata Andrea sambil menggoyang-goyangkan jari telunjuknya, "Meski aku bukan berasal dari wilayah Kerajaan Graycastle, aku bisa memahami betapa berharganya tempat ini. Aku yakin hanya masalah waktu saja untuk mengubah hutan ini menjadi sebuah kota. Menguasai tanah tidak bertuan ini adalah pilihan bijak bagi seseorang yang ingin memperluas wilayah kekuasaannya. Pada saat kota itu sudah selesai dibangun, jembatan apung yang sederhana dan murah akan menghambat proses transportasi secara signifikan. Sepertinya kakak Lady Tilly lebih bijaksana dan berpandangan jauh ke depan dibandingkan dengan kamu."     

Ashes langsung melotot ke arah Andrea. "Kamu memberi julukan kepada Roland sebagai seorang bangsawan vulgar yang suka dengan masakan yang tidak lazim. Sekarang kamu malah menyebutnya sebagai kakak Lady Tilly?"     

"Kamulah yang menambahkan kata 'seorang bangsawan vulgar'," kata Andrea sambil membuang muka, "Dan ungkapan bahwa orang yang suka masakan tidak lazim sama sekali tidak bertentangan dengan kenyataan bahwa Roland memiliki pemikiran yang jauh ke depan. Berhentilah bergosip mengenai Roland di depan Lady Tilly."     

Tilly mendengar sedikit pertengkaran antara Ashes dan Andrea. Lalu Tilly mengalihkan pandangannya ke seberang sungai.     

Tilly melihat ada sesuatu yang luar biasa.     

Hujan salju ini membuat suhunya sangat dingin seolah-olah musim dingin sudah tiba di sini. Warga sipil tinggal di dalam rumah, mereka berkumpul di sekitar tungku atau membungkus diri mereka dengan selimut tebal. Hanya sedikit orang yang masih berada di jalan-jalan bahkan di Kota Raja sekali pun. Karena hawa dingin mempercepat pembakaran energi, orang-orang harus makan lebih banyak agar tubuh mereka tetap hangat. Selain itu, ada juga bahaya flu yang mengancam di luar. Oleh karena itu, kebanyakan orang akan mengurangi aktifitas mereka di luar rumah hanya untuk kegiatan yang benar-benar dianggap perlu.     

Tetapi kondisi seperti itu tidak terjadi di Kota Perbatasan. Kota ini tetap ramai dengan orang-orang yang lalu lalang dan kegiatan mereka tetap berjalan. Beberapa orang ada yang sedang mendorong kereta dan beberapa orang sedang membawa kantung-kantung besar. Tampaknya mereka semua sedang terburu-buru dan sibuk dengan berbagai macam pekerjaan. Tilly tidak melihat ada mandor yang memegang cambuk, jadi itu berarti mereka semua memiliki pekerjaan mereka masing-masing.     

Bagaimana … mungkin?     

Ketika Tilly dan rombongannya menyeberangi jembatan, dua orang penjaga yang membawa semacam tombak aneh berjalan mendekati mereka. Mereka mengenakan seragam dan terlihat sangat bersemangat, sangat berbanding terbalik dengan tim patroli di kota-kota besar lainnya. "Berhenti. Bagaimana kalian bisa datang dari arah selatan?" Salah satu penjaga memandangi mereka dengan teliti. "Tunggu, apakah kalian … para penyihir?"     

Pertanyaan yang dilontarkan penjaga itu membuat Tilly sedikit terkejut. Tilly sudah mengetahui bahwa para penyihir diterima secara terang-terangan di kota ini, tetapi ketika ia mendengar orang biasa menanyakan pertanyaan ini dengan nada dan sikap yang santai, hatinya tergerak untuk menjawab dengan jujur. "Benar, kami penyihir," jawab Tilly.     

"Kalian pasti berada di sini untuk bergabung dengan Asosiasi Persatuan Penyihir." kata penjaga itu sambil tertawa. "Tolong tunggu di sini sebentar. Aku akan melaporkan kedatangan kalian."     

"Tunggu dulu. Bukan, kami …." Ashes hendak memprotes.     

"Baiklah. Kami akan menunggu di sini." kata Tilly menyela perkataan Ashes. "Oh ya, aku ingin bertanya apa yang sedang dilakukan orang-orang itu?"     

"Ah. Mereka sedang sibuk memperbaiki galangan kapal. Salju membuat galangan kapal itu tidak dijaga dan merusak beberapa barang di sana. Tetapi aku tidak tahu persis apa yang sedang mereka lakukan."     

Setelah penjaga itu kembali ke tempatnya, Ashes bertanya kepada Tilly. "Kenapa kamu tidak memberi tahu kepada penjaga ini siapa dirimu yang sebenarnya?"     

"Apakah kamu tidak ingin tahu bagaimana cara mereka menyambut seorang penyihir yang berasal dari luar kota?" jawab Tilly mengedipkan matanya.     

Tidak lama kemudian, seorang wanita tinggi yang berpakaian putih datang. Wanita ini berambut ikal dan rambutnya berwarna pirang, dan penampilannya terlihat sempurna. Meskipun Tilly tidak bisa melihat pusaran kekuatan sihirnya, ia bisa merasakan kekuatan sihir yang memancar dari tubuh wanita ini, seperti sebuah pisau yang tajam.     

Sudah jelas, wanita ini pasti penyihir tempur yang memiliki kekuatan yang luar biasa kuat.     

"Kupikir benar-benar ada penyihir baru di sini yang mau bergabung dengan kami. Bukankah kamu sudah kembali ke Pulau Tidur?" kata wanita itu sambil melihat sekilas ke arah Ashes sebelum mengarahkan pandangannya kepada penyihir lain. Ketika wanita ini melihat Tilly, ia tampak terkejut. Kecongkakannya langsung sirna dan sikapnya langsung berubah jadi sangat ramah.     

"Halo. Namaku Nightingale." kata wanita itu sambil mengangguk untuk menyapa Tilly. "Kamu pasti Tilly Wimbledon, adik perempuan Pangeran Roland."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.