Bebaskan Penyihir Itu

Para Penyihir Suci



Para Penyihir Suci

0Sambil berdiri di puncak bukit, Mayne memandang ke arah kota di Kerajaan Hati Serigala.     
0

Hanya dalam waktu tiga bulan, kota itu benar-benar sudah berubah. Terakhir kali Mayne datang ke sini, tembok kotanya dibangun dengan batu-batu berwarna putih salju yang rapi yang didatangkan dari Kerajaan Everwinter seperti sederet gigi berwarba putih yang bebas noda, tetapi sekarang tembok kotanya sudah ternoda dengan darah dan rusak, temboknya tampak berwarna kecokelatan dan cemong di sana sini. Bagian tembok yang rusak itu diperbaiki dengan batu-batu berwarna hitam dan bahkan ditambal dengan pasak kayu dan juga lempengan-lempengan.     

Jika dilihat dari jauh, tembok yang kasar dan kotor ini terlihat seperti taring mengerikan serigala tua yang telah menggerogoti banyak binatang dan menjadi sebuah kota predator[1].     

Pasukan gereja berkemah di tempat yang berjarak sekitar dua ribu lima ratus meter dari Kota Kerajaan Hati Serigala. Pasukan gereja yang datang untuk berperang kali ini lebih sedikit jumlahnya. Jika Ratu Pelabuhan Air Jernih menyelinap keluar dan menyerang Kota Suci lama, gereja masih memiliki beberapa pasukan untuk menjaga kota itu dan hanya mengirim delapan ratus Pasukan Penghakiman Gereja, lima ribu Pasukan Penghakiman dan lima ribu pasukan cadangan untuk menaklukkan Kerajaan Hati Serigala, tetapi Mayne yakin ia bisa merebut kota ini, dengan senjata rahasia yang ia miliki dan juga para penyihir suci.     

"Yang Mulia, Monster Ketapel sudah dipasang di lokasi, dan sudah siap untuk menyerang," seorang pendeta berlari ke puncak bukit dan melaporkan kepada Mayne.     

"Bagaimana dengan para penyihir suci?"     

"Mereka juga sudah siap, Yang Mulia."     

Mayne mengangkat teleskop di depan matanya untuk mengamati medan pertempuran. Dua buah Monster Ketapel berada seribu meter dari Kota Kerajaan Hati Serigala, dan mesin itu disembunyikan di bawah tumpukan jerami dan papan-papan kayu. Siapa pun akan sulit untuk melihat dua senjata mematikan itu dengan mata telanjang dari jarak sejauh itu.     

Di depan Monster Ketapel, berdiri Pasukan Penghukuman Tuhan yang terdiri dari jemaat yang paling saleh di gereja. Mereka tetap tegak berdiri dan tidak bergeming dalam hembusan angin musim gugur. Semua musuh yang pernah berperang melawan mereka sudah mengetahui kekuatan Pasukan Penghukuman Tuhan. Karena Pasukan Penghukuman Tuhan tidak dapat bertindak secara independen dalam pertempuran, mereka dikontrol oleh para komandan yang berbaur di antara mereka dengan menyamar sebagai Pasukan Penghukuman Tuhan. Jemaat gereja sekali pun, tidak tahu siapa komandan Pasukan Penghukuman Tuhan, kecuali Sang Paus dan ketiga Uskup Agung.     

"Bagus, sekarang kamu bisa kembali ke posisimu dan tunggu aba-aba dari sangkakala untuk menyerang." sahut Mayne sambil mengangguk puas.     

"Baik, Yang Mulia."     

Sekarang saatnya Mayne memanggil Penyihir Suci milik Paus Tertinggi.     

Memikirkan para penyihir suci itu, Mayne mengernyitkan alisnya. Penyihir Suci sangat berbeda dari para penyihir lain yang dibesarkan oleh gereja, mereka boleh bertempur sesuka hati bahkan di dalam peperangan sekali pun. Jika Penyihir Suci milik Mayne bertindak seperti ini, ia pasti akan menghukum mereka dengan cambuk, tetapi Mayne tidak bisa memperlakukan dua penyihir suci ini dengan buruk, karena mereka memegang posisi yang setara dengan dirinya di dalam struktur pemerintahan gereja. Lagi pula, Paus Tertinggi hanya memerintahkan para Penyihir Suci untuk membantu Mayne dalam pertempuran ini, bukan untuk mematuhi perintah Mayne.     

Tidak peduli bagaimana perilaku para Penyihir Suci itu, Mayne masih membutuhkan bantuan mereka untuk mengalahkan musuh.     

Mayne berjalan menuruni lereng ke tenda Penyihir Suci yang berada di luar batalion. Seperti yang sudah Mayne duga, ia tidak menemukan para Penyihir Suci itu di dalam tenda ketika ia masuk.     

"Ke mana Zero dan Isabella pergi?" Mayne bertanya kepada salah satu Pasukan Penghakiman yang berdiri di depan tenda.     

"Kedua wanita itu sedang menginterogasi para tahanan dan mereka pasti berada di sebelah timur batalion. Di sana ada lahan terbuka yang landai. Anda akan bertemu dengan mereka jika berjalan ke sana. Apakah Anda ingin aku memanggil mereka berdua ke sini?" kata penjaga itu.     

"Aku tidak akan datang ke sini jika kamu bisa memanggil mereka kembali. Dan kedua penyihir itu sedang mempermainkan tawanan lagi … apakah mereka belum bosan juga melakukannya?" Mayne mengeluh dalam hati dan berkata kepada penjaga itu dengan wajah masam, "Tidak, aku yang akan pergi ke sana untuk melihat mereka."     

…     

Mayne segera datang ke tempat yang disebutkan oleh penjaga itu.     

Dikelilingi oleh banyak Pasukan Penghakiman, dua orang wanita berdiri di tengah. Di depan mereka, ada tiga tawanan yang tangannya diikat di belakang. Seorang wanita mencondongkan tubuh ke depan sambil membisikkan sesuatu kepada para tawanan itu dengan ekspresi lembut di wajahnya. Rambutnya wanita itu berwarna putih dan ujung jubah putihnya menari-nari ditiup angin, membuatnya tampak seperti seorang peri. Wanita yang satu lagi yang memiliki tubuh yang indah, rambut pirang bergelombang, dan sering tertawa terkekeh-kekeh.     

Mayne berkata kepada seorang Hakim Agung yang berdiri di sampingnya, "Perintahkan semua Pasukan Penghakiman untuk meninggalkan tempat ini secara serentak, termasuk prajurit yang bertanggung jawab untuk menjaga para tawanan itu."     

"Baik, Yang Mulia."     

Penyihir Suci yang berambut pirang menyadari hal ini. Penyihir pirang itu mengatakan sesuatu kepada penyihir berambut putih dan kemudian mereka berdua dengan cepat berjalan ke arah Mayne.     

"Yang Mulia." Wanita itu sedikit membungkuk pada Mayne sambil bertanya, "Mengapa Anda menyuruh semua orang pergi? Persidangan akan segera dimulai."     

Mayne mengangguk kembali untuk membalas sapaan wanita itu dan berkata, "Nona Isabella, serangan jarak jauh terhadap Kerajaan Hati Serigala akan segera dimulai. Saat ini, tidak ada gunanya menginterogasi para tawanan. Selain itu, mereka hanya pengintai yang kami tangkap di sepanjang jalan dan mereka hanya memiliki sedikit informasi yang berharga. Jika Anda berdua tidak keberatan, aku harap kalian berdua bisa segera maju ke garis depan pertempuran."     

"Tenang saja, sekarang kami berdua ada di sini, mustahil musuh bisa melarikan diri. Sedangkan untuk persidangan itu … aku tidak bisa menghentikan keinginan Zero. Bagaimana kalau Anda ikut menonton persidangan itu di sini? Lagi pula, persidangan ini tidak akan memakan waktu lama." kata Isabella sambil meregangkan kedua tangannya.     

"Ini adalah permainan yang sama?"     

"Yah, pada dasarnya aturannya sama." kata Isabella sambil tersenyum. "Zero hanya menyukai aturan permainan seperti ini."     

"Kalau begitu, mulailah sekarang." Mayne mencoba sebisa mungkin untuk menekan amarahnya agar wajahnya tetap terlihat tenang, tetapi ia bersumpah serapah di dalam hatinya. "Sialan! Apa-apaan permainan ini? Ini hanya sebuah permainan kucing-tikus. Dalam permainan ini, seorang tawanan harus keluar dari area tertentu yang ditetapkan oleh Zero atau mengalahkan Zero demi mendapatkan kesempatan untuk bertahan hidup. Permainan yang tampak mudah ini sebenarnya adalah sesuatu yang tidak pernah bisa dimenangkan oleh para tawanan yang sengaja dibuat Zero sebagai umpan untuk menarik para tawanan ke dalam perangkapnya."     

Itu sama sekali bukan permainan yang adil, dan yang dilakukan oleh Zero dan Isabella itu sama sekali tidak terpuji dan tidak tulus. Inilah mengapa Mayne memerintahkan Pasukan Penghakiman yang bertugas untuk melindungi dan mengawasi para Penyihir Suci ini pergi meninggalkan tempat itu. Mayne takut jika mereka menonton permainan ini, hal itu akan merontokan iman mereka di gereja.     

Mayne memutuskan dalam hati bahwa jika nanti ia menjadi Paus Tertinggi, ia akan menghajar para penyihir ini untuk mematuhi perintahnya.     

Saat ini, Zero sudah membuka ikatan tali yang mengikat para tawanan. Zero mengulurkan tangannya untuk menunjukkan bahwa ia tidak membawa senjata apa pun, tetapi para tawanan itu diberikan sebuah pedang panjang, sebuah belati dan sebuah busur panah yang ditempatkan di depan mereka.     

"Ayolah, bertempur atau melarikan diri. Ikuti kata hati kalian. Hanya para dewa yang bisa membuat sebuah keputusan," kata Zero dengan wajah tenang dan suara lembut.     

Salah satu tawanan menggertakkan giginya dan mengambil busur panah itu untuk memanah Penyihir Suci yang berada dekat dengan tangannya secara tiba-tiba. Segera setelah itu, tawanan itu meraih pedang untuk menyerang Zero, ia berpikir untuk bergerak secepat mungkin melebihi Zero. Tawanan itu telah melakukan semua gerakan dan serangan yang tiba-tiba hanya dalam satu gerakan saja, yang menandakan bahwa tawanan ini bukan seorang prajurit biasa.     

Namun, pedang tawanan itu tidak mengenai Zero. Zero dengan mudah menghindari serangan mendadak itu dengan melangkah mundur dua langkah lebih cepat. Ketika tawanan itu mengangkat kepalanya, ia tercengang melihat Zero menangkap anak panah itu dengan mulutnya, seolah-olah anak panah itu adalah sebuah ranting kayu biasa.     

Zero meludahkan anak panah itu ke tanah dan berkata sambil tersenyum, "Silahkan, serang aku lagi."     

Mata tawanan itu terbelalak ketakutan. Melihat tangan tawanan yang gemetaran itu, Mayne yakin bahwa sebagian besar keberanian pria itu telah hilang sekarang dan semua keberaniannya yang masih tersisa, itu pun jika masih ada keberanian, hanya cukup untuk melakukan serangan terakhir.     

Seperti dugaan Mayne, setelah beberapa saat tampak ragu-ragu, sang tawanan melepaskan keberaniannya dan berlari ke arah Zero, dengan membawa sebuah pedang di tangannya.     

Sama sekali tidak ada serangan penuh keahlian pada serangan terakhir yang dilakukan tawanan putus asa itu. Mayne bisa tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, bahkan dengan mata tertutup. Setelah menghabiskan setengah bulan bersama Zero, Mayne terkesan dengan kemampuan Zero yang luar biasa. Zero bukan seorang Penyihir Luar Biasa, tetapi ia pasti bisa bersaing dengan Penyihir Luar Biasa dalam bertempur. Zero tidak terlalu kuat atau pun ulet, tetapi ia sangat terampil dalam bertempur.     

Bahkan tanpa kekuatan sihir sekali pun, Zero akan menjadi seorang petarung yang hebat.     

Zero beringsut ke satu sisi untuk menghindari serangan pedang tawanan itu kemudian ia mengambil kesempatan untuk menarik kepala pria itu dengan tangan rampingnya. Dengan memanfaatkan gerakan tawanan itu ke depan, Zero memelintir kepala tawanan itu, dan pria itu langsung ambruk ke tanah, tubuhnya tampak seolah-olah tidak bertulang dalam sekejap.     

Zero berbalik kepada dua orang tawanan yang masih tersisa dan berkata, "Sekarang, giliran kalian."     

[1] Kota pemangsa     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.