Bebaskan Penyihir Itu

Sebuah Menara Batu



Sebuah Menara Batu

0Kilat sedang terbang di atas Hutan Berkabut.     
0

Dunia tampak kecil di mata Kilat. Semua detail menjadi kabur dalam pandangannya, hanya potongan-potongan warna yang tersisa. Yang berwarna cokelat adalah tanah, yang berwarna abu-abu adalah pegunungan, yang hijau adalah hutan dan yang biru adalah sungai.     

Warna hijau, menempati sebagian besar pemandangan yang Kilat lihat.     

Berbeda dengan warna hijau cerah di ladang gandum di Kota Perbatasan, warna hijau di sini berwarna hijau tua dan lebih pekat, bercampur dengan beberapa warna abu-abu dan hitam. Pemandangan hijau tidak berujung membentang dari barat sampai ke utara. Jika Kilat menatap warna hijau ini untuk waktu yang lama, ia merasa seperti akan jatuh ke tanah. Karena itu, ia harus mengalihkan perhatiannya ke langit yang biru setiap saat untuk menghilangkan kepenatan.     

Awan mendung yang tebal di belakang Kilat, meluas sampai ke puncak Pegunungan Tak Terjangkau dan menyelimuti Kota Perbatasan dengan lapisan kabut tipis dan air hujan.     

Saat ini Kilat sedang mencari peninggalan berusia empat ratus lima puluh tahun di dalam Hutan Berkabut. Kilat merasa bahwa ini adalah eksplorasi yang sangat keren. Setengah bulan yang lalu ketika Roland memberi tugas ini kepada Kilat, ia telah berjanji untuk menemukan peninggalan bersejarah itu dengan penuh keyakinan. Tidak seperti Cara si Penyihir Ular, yang dengan rutin mengikuti petunjuk dalam buku kuno dengan ketabahan yang luar biasa, Pangeran Roland menekankan berulang kali bahwa peta itu tidak lebih dari sebuah referensi. Pangeran Roland mengatakan kepada Kilat untuk tetap berhati-hati dan menjaga dirinya dan bahwa ia tidak perlu merasa kecewa jika ia gagal menemukan peninggalan itu. Kata-kata Yang Mulia ini membuat Kilat merasa senang.     

Kilat menyadari bahwa Yang Mulia memang benar. Bahkan jika itu dulu adalah sebuah istana yang besar, pada akhirnya istana itu akan tertutup oleh rerumputan ilalang dan semak belukar dan menjadi reruntuhan batu jika terkubur selama empat ratus lima puluh tahun. Tetapi Kilat masih ingin menemukan tempat itu. Berdasarkan Bintang Daud, Kilat bisa melihat di mana Kota Suci Taquila berada. Setelah mendengar penjelasan lengkap dari Roland, Kilat langsung mengetahui apa yang dimaksud dengan Taquila.     

Menyusuri peninggalan bersejarah itu, mungkin Kilat dapat membantu Yang Mulia mengungkap alasan sebenarnya di balik pertempuran antara gereja dan iblis, yang berusaha ditutupi oleh gereja dengan segala cara.     

Ini jauh lebih menyenangkan daripada menjelajahi rute-rute baru bersama ayahnya!     

Menggunakan metode kelautan, pertama-tama Kilat menggambar beberapa kolom pada gulungan kertas berbentuk persegi kemudian mengisi setiap kolomnya berdasarkan jarak yang ia tempuh dalam periode waktu tertentu. Ketika semua kolom sudah terisi, artinya tugas Kilat sudah selesai.     

Kilat sudah mengisi setengah dari kolomnya.     

Awan hujan di belakangnya bergerak lebih cepat daripada yang Kilat perkirakan. Kilat bahkan bisa mendengar suara bergemuruh ketika awan bergerak. Kilat menurunkan ketinggian terbangnya dan menuju hutan di bawah dengan kecepatan yang luar biasa.     

Saat itu, Kilat melihat sekilas bayangan berwarna abu-abu putih dari sudut matanya.     

Untuk sesaat, Kilat tidak yakin apa yang ia lihat. Karena itu, Kilat berhenti terbang, melayang di udara dan berbalik untuk melihat daerah yang baru saja dilewatinya.     

Kilat tidak melihat apa-apa.     

Kilat berpikir apakah itu hanya ilusi saja. Kilat memutuskan untuk memeriksa daerah itu sekali lagi.     

Kali ini, Kilat terbang lebih rendah lagi, cukup rendah untuk melihat batang pohon yang mengelupas, ranting yang terbelah dan daun dengan berbagai bentuk dari dalam hutan. Kilat kembali melihat berbagai macam warna.     

Beberapa menit kemudian, Kilat tiba-tiba menemukan sebagian kecil menara batu berwarna putih mencuat dari ranting-ranting pohon. Karena bagian atas menara itu terbuka dan bagian bawahnya tersembunyi di dalam semak belukar, cukup sulit bagi Kilat untuk melihatnya dari atas. Jika bukan karena awan, Kilat mungkin tidak akan melihat menara ini.     

Jantung Kilat berdebar-debar. [Mungkinkah itu adalah peninggalan bersejarah yang ada di peta?]     

Kilat terbang di sekitar menara batu tetapi tidak merasakan sesuatu yang aneh. Karena itu, Kilat memutuskan untuk melihat lebih dekat.     

Setelah mendarat, Kilat memperhatikan bahwa itu bukan sebuah menara batu berwarna putih.     

Sebaliknya, menara itu ditutupi dengan tanaman rambat dan lumut dan berubah menjadi warna hijau keabu-abuan ketika ia semakin dekat. Menara ini sedikit miring seolah-olah telah dihantam oleh suatu kekuatan besar. Bebatuan dari bahan dan warna yang sama dengan menara itu berserakan di tanah, yang tampaknya telah jatuh dari atas. Beberapa batu yang lebih besar masih terlihat, sementara batu yang lebih kecil telah terkubur di rumput dan tanah. Menara itu berukuran sangat besar, yang hampir sebesar istana Pangeran Roland. Untuk bangunan semacam ini, biasanya terdapat ruangan bawah tanah di dalam istana.     

Kilat harus mencatat lokasi peninggalan ini dan segera kembali ke Kota Perbatasan.     

Sebuah suara terngiang di benak Kilat dan memberitahukannya bahwa ini bukan ide yang baik untuk memasuki sebuah situs peninggalan yang berusia ratusan tahun, karena gas-gas beracun di bawah tanah bisa membunuhnya.     

Tetapi Kilat diam di tempat dan ia merasa sangat penasaran. Kilat merasa terdorong untuk mengintip, untuk hanya mengintip sedikit saja. Kilat menatap ke langit. Langit kini tampak semakin mendung. Tampaknya, hujan deras sebentar lagi akan tiba.     

Kilat akhirnya mendapatkan alasan bagi dirinya untuk memasuki menara itu: karena tidak nyaman baginya untuk terbang dalam keadaan hujan, ia terpaksa masuk ke menara untuk menjaga dirinya agar tidak kehujanan. Jika Kilat menemukan ruang bawah tanah, ia tidak akan pergi ke bawah sana sendirian.     

Setelah mengambil keputusan, Kilat, yang terdorong oleh rasa penasarannya yang besar, pergi ke pintu masuk yang tertutup tanaman rambat. Kilat mengambil belati dari ikat pinggangnya dan berhasil membuat lubang kecil untuk merangkak masuk. Pintu kayunya sudah lama busuk, dan Kilat dapat masuk ke dalam menara tanpa kesulitan.     

Karena bagian atas menara telah terbuka, Kilat dapat dengan jelas melihat semuanya tanpa menggunakan obor. Kilat mencari di lantai pertama menara tetapi tidak menemukan apa pun. Tampaknya, segala sesuatu yang terkena sinar matahari telah terhapus oleh waktu tanpa meninggalkan jejak sedikit pun. Tidak ada yang tersisa di lantai dasar menara selain reruntuhan dinding. Kilat juga menemukan beberapa lubang untuk tangga yang dimulai dari lantai ke langit-langit, tetapi tidak ada tangga untuk menuju ke atas.     

Cukup mudah bagi Kilat untuk menemukan lorong yang menuju ke ruang bawah tanah. Lorong itu terletak di sisi barat daya lantai dasar, tepat di seberang pintu masuk menara. Kilat menduga ia mungkin bisa menemukan Kota Suci Taquila yang disebutkan dalam buku kuno jika ia pergi ke Tanah Barbar melalui jalur ini.     

Sementara Kilat sedang berpikir, ia merasakan ada sesuatu yang jatuh di hidungnya. Itu adalah tetesan hujan. Kilat perlahan memasuki lorong yang menuju ke ruang bawah tanah dan berbelok. Di sana, Kilat sampai di sebuah pintu kayu. Meskipun pintu belum benar-benar terkikis, pintu itu terlihat cukup bobrok seolah-olah pintunya akan hancur hanya dengan satu sentuhan.     

Saat ini, gerimis mulai berubah menjadi hujan deras. Hujan deras yang jatuh ke lantai mengaburkan pandangan Kilat. Meskipun Kilat berdiri di suatu tempat yang kering, genangan air segera meluap dan air mulai mengalir ke tangga batu. Agar sepatunya tidak basah, Kilat melayang di atas tanah dengan kedua kaki yang menjuntai di udara.     

Tiba-tiba, Kilat mendengar suara teriakan lemah, tidak jelas dari mana asalnya di tengah suara gemuruh hujan.     

Suara itu membuat bulu kuduk Kilat meremang. Kilat bergidik ketakutan. Jalanan sempit itu dipenuhi dengan beberapa tanaman rambat yang layu di sana-sini. Dengan bantuan cahaya dari luar, Kilat membuka ranselnya dan mengeluarkan obor portabel dan batu api, lalu ia mencoba menyalakan obor untuk memeriksa keadaan lebih lanjut.     

Pada saat itu, Kilat kembali mendengar teriakan itu. Kali ini, Kilat menyadari suara itu datang dari arah pintu kayu di belakang. Kilat bergidik ketakutan dan segera berbalik. Obornya jatuh ke bawah dan air terciprat ke tubuh Kilat.     

Kali ini, suaranya terdengar lebih jelas. Meskipun masih cukup sepi, suaranya cukup keras bagi Kilat untuk mengetahui bahwa suara itu berasal dari seorang wanita.     

[Apakah ada seseorang di ruangan bawah tanah?] Punggung Kilat dipenuhi keringat dingin karena memikirkan hal ini. [Bagaimana itu bisa terjadi? Menara batu ini merupakan situs peninggalan lebih dari empat ratus lima puluh tahun. Saat menara ini berada di tengah antah berantah jauh di dalam Hutan Berkabut, siapa lagi yang datang ke sini selain diriku?]     

"Tolong aku …."     

Pada saat wanita itu berteriak untuk ketiga kalinya, suara itu terdengar cukup jelas. Memang di balik pintu kayu itu suaranya berasal. Seseorang benar-benar meminta pertolongan. Kilat menelan ludah. Kilat meletakkan tangannya pada gagang pintu dengan hati-hati dan kemudian mendorong pintunya dengan amat pelan. Pintu kayu yang lembap itu terbuka dan jatuh menghantam tanah, disertai bunyi berdebam.     

Sesosok makhluk yang tinggi dan kekar muncul di hadapan Kilat secara tiba-tiba!     

Kilat merasa seluruh tubuhnya membeku. Sosok itu tampak persis seperti iblis yang digambar Soraya. Dalam cahaya remang-remang, Kilat merasa bahwa iblis itu juga sedang menatapnya. Perawakannya yang besar sedikit condong ke depan. Di tangannya, yang hanya memiliki tiga jari, ada kapak yang berkilauan dengan noda darah merah gelap. Dalam sekejap, Kilat ingat hari di mana iblis-iblis ini membantai para penyihir di Asosiasi Persatuan Penyihir.     

"Ahhhhh … !" Kilat menjerit sekencang-kencangnya. Kilat melemparkan batu api yang ada di tangannya ke arah iblis itu dan melesat keluar dari lorong secepat mungkin. Kilat terbang langsung menerobos hujan dan melesat menuju ke Kota Perbatasan.     

Namun, Kilat tidak mengetahui bahwa batu api yang ia lempar ke arah iblis itu telah mengenai si iblis di bagian dada. Beberapa retakan kecil segera muncul di sekitar area yang terkena batu api kemudian mulai menyebar ke seluruh tubuh iblis itu. Iblis itu perlahan-lahan hancur berkeping-keping saat muncul lebih banyak retakan di tubuhnya. Iblis itu meleleh hancur menjadi abu berwarna putih dan tertiup angin.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.