Bebaskan Penyihir Itu

Pertempuran di Kota Elang (Bagian II)



Pertempuran di Kota Elang (Bagian II)

0Orang-orang yang diperlakukan sebagai prajurit pengumpan meriam telah berhasil memanjat lereng tanah itu tanpa kesulitan sama sekali.     
0

Namun, kayu-kayu penghalang itu memblokir jalan mereka. Kayu penghalang itu tidak terbuat dari kayu gelondongan, dan memiliki celah yang dapat digunakan untuk melempar tombak dari dalam tembok pertahanan, sehingga para prajurit hanya perlu berdiri di belakang kayu penghalang itu ketika mereka menyerang musuhnya dengan tombak.     

Namun, Adipati Frances tidak menyangka bahwa prajurit yang berjaga di atas tembok telah meninggalkan tembok itu tanpa penjagaan. Pasukan garda depan menembus penghalang dengan kapak dan merobohkan beberapa batang kayu sebelum mereka memasuki bagian atas tembok pertahanan itu. Setelah beberapa saat kemudian, gerbang kayu juga sudah diturunkan.     

"Mari kita masuk ke dalam," Adipati Frances menghentakkan tali kekang kudanya, memimpin pasukan untuk terus bergerak maju. "Hanya dibutuhkan waktu tiga puluh menit dari awal sampai kita membuka gerbangnya. Apa yang sedang direncanakan oleh Garcia Wimbledon?" Frances mengerutkan keningnya. Siapa pun yang memiliki pengalaman perang pasti akan mengetahui bahwa ketika seorang pemimpin meninggalkan kota, ia pasti akan meninggalkan beberapa penjaga atau membayar beberapa orang dengan harga yang sangat mahal, yaitu orang-orang yang tidak takut mati, untuk melawan musuh dan memberikan tambahan waktu bagi pasukan utama untuk melarikan diri.     

"Putri Garcia bukan seorang yang bodoh, lagi pula ia telah berhasil menaklukkan seluruh Wilayah Selatan dalam waktu yang sangat singkat. Mengapa Garcia tidak mengerahkan orang-orang itu untuk menjaga tembok? Pertahanan dan perangkap yang Garcia siapkan, tidak peduli seberapa banyak dan sukarnya jebakan itu, tidak akan berguna jika wilayah ini tidak dijaga." Adipati Frances merenung dan memutuskan untuk mengirim beberapa orang penjaga ke dalam Kota Elang untuk memeriksa situasi di dalam.     

Informasi yang dilaporkan oleh Kapten pemimpin pasukan juga sama dengan apa yang sudah mereka lihat di tembok perbatasan, tidak ada prajurit yang berjaga di kota. Hanya ada beberapa jalan yang diblokir oleh kayu dan batu bata, dan anak buah Frances telah mengumpulkan penduduk kota itu untuk menyuruh mereka membersihkan area blokade.     

Frances memimpin pasukannya masuk ke Kota Elang tanpa ragu. Frances merasa yakin bahwa dirinya, seorang veteran yang terbukti kemampuannya dan telah mengabdi kepada Raja Wimbledon III untuk ikut berperang selama bertahun-tahun, tidak akan takut oleh seorang gadis muda. Menurut Frances sepertinya Timothy telah membuat kesalahan karena seharusnya Timothy bisa menghemat banyak waktu jika ia memilih untuk memasuki kota setelah Frances menguasai Kota Elang itu.     

Ketika Frances melewati gerbang Kota Elang, ia mencium sesuatu, bau itu bukan bau busuk yang biasa tercium di medan perang tetapi bau seperti campuran minyak kacang pinus, kulit jeruk dan kemenyan. Jika Frances menarik napas panjang, ia bahkan bisa mencium bau yang harum.     

"Bau apa itu?" Frances melihat sekeliling dan ia tidak melihat sesuatu. Karena selokan yang digunakan untuk mengalirkan air dari tembok tersumbat, air selokannya meluap dan mengairi tanah dengan perlahan. Selain itu, banyaknya kotoran yang sudah terakumulasi untuk waktu yang lama itu telah berwarna hitam pekat, memantulkan cahaya berwarna-warni di bawah pantulan sinar matahari.     

"Mungkin bau kotoran itu," pikir Frances sambil menggelengkan kepalanya dan berjalan ke istana bersama dengan pasukannya.     

"Sekarang karena aku telah menaklukkan Kota Elang, sebaiknya aku berjalan-jalan ke kastil-kastil milik para bangsawan dan ke Balai Kota untuk memeriksa apakah ada sesuatu yang berharga untuk diambil. Tentunya, Garcia pasti sudah menjarah isi kota ini. Tetapi pasti masih ada beberapa kerajinan dan perhiasan yang cukup berharga. Kereta makanan juga bisa digunakan untuk menampung barang jarahan itu setelah barang-barang itu dibersihkan terlebih dulu. Sedangkan para tentara bayaran itu, mereka pasti sudah menuju ke toko-toko dan peternakan.     

Biarkan saja mereka melakukan apa yang mereka inginkan. Lagi pula, Adipati Joey pasti sudah mati dan tidak ada yang tahu siapa yang akan menjadi penguasa yang baru di kota ini. Menjarah seluruh kota lebih penting.     

Setelah Frances berjalan-jalan melewati seluruh kastil para bangsawan, Frances merasa ada sesuatu yang tidak beres.     

Kastil itu terlalu kosong, pikir Frances. Frances bahkan tidak bisa menemukan sepotong pakaian ataupun makanan di ruang bawah tanah, belum lagi emas-emasnya. Dinding-dinding kastil benar-benar kosong dan bahkan di rak buku pun tidak terdapat satu buku sama sekali. Yang lebih aneh lagi, bahkan tempat tidur di kamar bangsawan juga tidak ada. Kastil itu seperti sudah dijarah habis-habisan.     

Bagaimana pasukan Garcia bisa mengambil semua barang-barang ini ketika mereka sedang dalam perjalanan untuk melarikan diri? Frances mulai merasa bahwa situasinya tidak sebaik yang ia pikirkan. Kastil itu tidak akan begitu kosong kecuali mereka sudah mulai mengangkut barang-barang ini lebih awal.     

Ketika Frances hendak menuju ke Balai Kota, asap hitam tebal tiba-tiba mengepul di atas Gerbang Utara.     

"Ada apa? Apakah ada sesuatu yang terbakar?"     

"Aku tidak tahu Tuan. Aku sudah mengutus Moliere untuk memeriksanya," kata Sang Kapten, "mungkin musuh yang membuat api itu dengan sengaja."     

Awalnya Frances mengira asap itu hanyalah jebakan, tetapi ia segera menyadari bahwa memanfaatkan api untuk memblokir gerbang itu tidak ada artinya. Jika tidak ada orang yang berkumpul dan melakukan serangan, api akan segera dipadamkan oleh pasukan milik Frances. Apalagi fakta bahwa api yang digunakan hanya sedikit untuk menahan musuh, karena itu pasukan Frances pasti bisa melewati gerbang dan memanjat lereng itu untuk keluar.     

Taktik yang tepat adalah membuat para prajurit menunggu sampai api yang tersebar menarik perhatian musuh, kemudian meluncurkan serangan dan menangkap mereka dengan tiba-tiba. Itu adalah cara yang efektif untuk mengacaukan formasi mereka atau bahkan memaksa musuh untuk mundur. Seperti yang Frances pikirkan sebelumnya, jebakan yang tidak dijaga sama sekali tidak berarti apa-apa.     

Pada saat ini, tiga gerbang lainnya mulai menampakkan asap juga, dan api di Gerbang Utara menjadi lebih jelas terlihat, yang lebih buruk, api itu berkobar dengan cepat. Seolah-olah gerbang itu ditumpuk dengan tumpukkan kayu sebagai bahan untuk menyulut api. Terdengar suara orang-orang yang menjerit di suatu tempat, mungkin karena rumah mereka juga ikut terbakar.     

"Ada yang tidak beres …" Frances berpikir, "ketika aku memasuki kota melalui Gerbang Utara, tidak ada apa pun di sana selain lahan kosong! Bagaimana api bisa menyebar dengan begitu cepat? Tunggu … " Sebuah pemikiran terlintas di benaknya, "mungkinkah Garcia Wimbledon diam-diam telah merekrut para penyihir?"     

Frances menyentuh Liontin Penghukuman Tuhan yang tergantung di lehernya dan merasa sedikit lega. Dengan liontin yang akan melindunginya dari kuasa jahat penyihir, ia bisa melewati api penyihir itu dengan mudah. Selain itu, tidak ada bahaya yang akan terjadi kepada para penjaga, karena mereka semua juga telah dilengkapi dengan Liontin Penghukuman Tuhan. Sedangkan untuk orang-orang bebas itu, yang tidak memiliki cukup uang untuk berkontribusi pada gereja, mereka berada di luar perlindungan Frances sekarang.     

Karena Frances merasa bahwa kota itu menjadi sedikit terasa janggal, ia memutuskan untuk keluar dari kota terlebih dahulu. Pasukannya dapat mendirikan kemah di Gerbang Selatan, mereka dapat mengawasi kota sambil menunggu pasukan Timothy untuk kembali. Ketika Frances memikirkan hal ini, ia memerintahkan Sang Kapten, "kita pindah ke selatan dan tinggalkan kota ini. Kamu harus terus meniup terompet dalam perjalanan untuk tetap mempersatukan pleton kita."     

"Baik, Tuan!"     

Kerumunan pasukan itu bergerak dengan segera, namun, ketika mereka mendekati Gerbang Selatan, api telah menyebar ke daerah pemukiman di mana ratusan rumah ikut terbakar, membuat gelombang hawa panas yang memaksa mereka mundur. Warga yang panik, yang bersembunyi di rumah mereka, sekarang berlarian keluar dan memadati jalan, bahkan menembus dinding pertahanan para prajurit dan berlarian ke tempat aman dengan kalut. Tiba-tiba, semua orang tampak tenggelam di lautan api, dikelilingi oleh asap tebal dan api yang mengamuk.     

"Semua tetap tenang! Pergi dan temukan sumurnya. Ambillah air untuk memadamkan api," Adipati Frances dengan cepat memberi perintah, "Tinggalkan rumah-rumah itu. Cobalah untuk memadamkan api di trotoar dan bersihkan jalanan. Terus tiupkan terompetnya untuk memastikan pasukan kita mengetahui di mana posisi kita berada."     

"Tuan!" Seorang penunggang kuda berderap dari tengah kota dan melompat turun sebelum menarik tali kekang kudanya. Orang itu adalah Moliere yang di utus ke Gerbang Utara oleh sang kapten. "Tuanku, tidak ada cara untuk memadamkan api di Gerbang Utara!"     

"Apa katamu?" kata Frances terkejut. "Apinya tidak bisa dipadamkan??"     

"Api itu disirami oleh air berwarna hitam," kata Moliere dengan cepat, "Apinya tidak hanya tidak bisa dipadamkan oleh air tetapi juga apinya mengalir di seluruh kota! Tuanku, seluruh bagian utara kota telah terbakar!"     

"Api yang tidak bisa dipadamkan …" Frances bergumam, "Itu pasti api yang berasal dari iblis." Frances berteriak dengan keras, "Semua orang tetap tenang. Ini adalah api iblis yang dilakukan oleh para penyihir atas perintah Garcia! Selama kalian mengenakan Liontin Penghukuman Tuhan, api itu tidak akan melukai kalian!"     

"Aku mengerti. Semoga Tuhan berbelas kasihan pada kita," kata Moliere, tanpa sadar ia menyentuh dadanya, "Tuanku, apa yang harus kita lakukan selanjutnya?"     

"Kamu memiliki Liontin Penghukuman Tuhan, jadi apa yang kamu takuti? Kalian semua naik ke kuda, ayo bergegas melewati api itu," kata Frances sambil mengibaskan tangannya, "Api iblis itu akan padam begitu bersentuhan dengan Liontin Penghukuman Tuhan! " Frances berhenti dan berkata, "Moliere, kamu memimpin pasukan keluar terlebih dahulu. Aku akan tetap di sini untuk mengumpulkan pasukan kita yang belum tiba."     

"Baik!" Moliere menganggukkan kepalanya, "Tolong berhati-hatilah, Tuanku. Kalian semua, tetaplah waspada dan tetap berada dalam formasi."     

Setelah itu, Moliere menaiki kudanya dan berderap menuju ke ujung jalan yang panas membara itu, tanpa merasa ragu.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.